Rabu, 25 Januari 2017

KURIKULUM 2013



KURIKULUM 2013 “OPTIMIS BISA”
Sejak digulirkannya kurikulum 2013 dengan tema pembelajaran tematik integratif banyak pro dan kontra yang muncul. Kelompok pro menyatakan bahwa kurikulum 2013 merupakan model ideal untuk menyiapkan generasi emas indonesia tahun 2045 yang bertepatan dengan ulang tahun ke 100 kemerdekaan indonesia, karena model kurikulum ini mengusung pembelajaran tematik integratif yaitu mengkaitkan setiap mata pelajaran dengan tema tertentu, sehingga akan terbentuk pembelajaran penuh nilai ( meaning full education ), dengan paradigma student center learning.
Setidaknya ada dua hal yang pemerintah targetkan dalam K13 yaitu : pengintegrasian antar mata pelajaran, dan penerapan pendekatan saintifik. Pertama Pemerintah menghendaki model pembelajaran terintegrasi antar mata pelajaran atau model jaring laba-laba (spider webbed), yang mengkaitkan berbagai mata pelajaran mulai dari MTK,IPA,IPS,PKn dengan tema tertentu.  Karena selama ini pembelajaran bersifat parsial, terpisah satu dengan yang lain, kurang menyatu sehingga antar mata pelajaran tidak saling menyapa, lebih ironis lagi pembelajaran seakan anti realitas, sehingga out put yang dihasilkan hanya menambah jumlah pengangguran atau jika bekerja pun mereka bekerja bukan pada bidang yang sesuai dengan keahliannya ( mismatch ). Kurikulum 2013 dengan tematik integratif membawa misi penyatuan berbagai mata pelajaran ke dalam tema yang telah ditentukan, sehingga peserta didik tanpa sadar telah menguasai berbagai pelajaran, sehingga menjadi pembelajaran yang aplikatif dan penuh nilai. Kedua : pendekatan saintifik yaitu mengarahkan peserta didik agar banyak memahami, mencari, meniliti dan mengaplikasikannya, maka pembelajaran akan membentuk peserta didik menjadi aktif, kreatif, kritis dan inovatif.
Sasaran penerapan pendidikan dasar adalah pendidikan dasar ( kelas satu hingga kelas tiga), menurut Jean Piaget pada usia ini  ( 7-10 ) seorang anak berada pada taraf berfikir operasional kongkret yaitu taraf dimana seorang anak akan berfikir secara kongkret dan mengkaitkan antara apa yang mereka pahami dengan realitas yang terjadi dalam kehidupan. Menurut Desmita (2006) pada taraf operasional kongkret seorang anak akan berubah pola berfikir yang semula bersifat imajinatif dan egosentris berubah kearah pola berfikir kongkret, rasional, dan objektif. Selain itu pola berfikir anak bersifat holistik yang memandang segala sesuatu secara global, dan saling terkait. Maka sangat jelas menurut golongan yang pro penerapan K13 sangat mendesak untuk direalisasikan, mengingat pembelajaran yang selama ini berlangsung hanya menekankan aspek kognitif berupa hafalan, tanpa mengkaitkan dengan realita kehidupan sehingga kering nilai.
Adapun yang kontra menyakini dan telah merasakan bahwa proses pembelajaran dalam kurikulum 2013 belum siap untuk dilaksanakan, karena mepetnya persiapan menyebabkan berbagai kendala mulai muncul saat ini, mulai dari ketersediaan buku panduan, hingga ribetnya model penilaian yang digunakan yaitu penilaian autentik. Penilaian autentik yang menggunakan pendekatan saintifik diyakini akan sulit diterapkan oleh guru karena berbagai sebab, diantaranya kurangnya sosialisasi model penilaian tersebut. Dalam penilaian autentik seorang guru harus membuat laporan bagi setiap peserta didik, tidak hanya ketika akhir semester, namun selama proses pembelajaran. Dapat dibayangkan bahwa pekerjaan berat sebagai guru telah menumpuk dengan proses penilaian tersebut. Ada kekwatiran bahwa energi guru akan habis dalam proses penilaian saja, tentu ini sangat tidak efektif. Oleh sebab itu sebagian kelompok masyarakat semakin yakin bahwa kurikulum 2013 akan sulit direalisasikan dalam waktu dekat ini.
Selain pro dan kontra tersebut diatas, ada problem lain yaitu terkait dengan mata pelajaran agama di madrasah. karena hingga saat ini di tingkat pendidikan dasar terutama di Madrasah  mata pelajaran agama ( SKI, QH, AQ, Fiqih ) masih terpisah dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran agama belum bisa terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain. Jika hal ini tidak segera dicarikan solusi tentu menjadi masalah yang berkepanjangan, dan menjadi sebab gagalnya implementasi kurikulum 2013.
Terlepas dari pro dan kontra kita layak memberikan apresiasi positif atas agenda pemerintah dalam kurikulum 2013, dan kita harus optimis untuk terealisasinya generasi emas di ulang tahun ke-100 bangsa kita ini. Kurikulum 2013 optimis bisa.

Sabtu, 21 Januari 2017

REMAJA DAN PROBLEMATIKANYA



PROBLEMATIKA REMAJA
Masa muda masa yang berapi-api
Yang mau nya menang sendiri
Walau salah tak peduli..
Wo ho ho..... masa muda....
Penggalan syair lagu diatas memberikan gambaran remaja, dengan jiwa yang penuh gejolak untuk melakukan apapun tanpa berfikir panjang. Kita bisa lihat aksi kekerasan seperti tawuran, tindak kriminal serta kemerosotan moral yang dilakukan remaja banyak memenuhi pemberitaan di media massa saat ini, baik cetak maupun elektronik. Bahkan selama tahun 2013 ini, kekerasan dan tindak kriminal para remaja terus meningkat dan semakin brutal, tercatat mulai tanggal 21 Februari siswa SMA tawuran di Jakarta Pusat, di susul pada 18 April setelah UN pelajar SMA saling tawuran lalu membajak bus di Grogol di Jakarta Barat, lalu di Jakarta Utara para pelajar berkonvoi dengan membawa senjata tajam, lalu pada tanggal 29 Juli dan 30 Juli terjadi pelecehan dan tawuran di Jakarta Selatan, tanggal 8 September seorang remaja hilang kendali ketika mengendarai mobil hingga menewaskan 6 orang, pada tanggal 27 September dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan rekaman tindakan asusila dua murid SMP diruang kelas, dan yang terakhir pada 4 Oktober seorang remaja menyiramkan air keras kepada penumpang dan awak bus jurusan kampung Melayu-Grogol yang menyebabkan 18 orang mengalami luka bakar (Kompas : 23 Desember 2013). Yang terbaru ada kasus pengeroyokan hingga mengakibatkan kematian seorang remaja putri, yang dilatarbelakangi rasa cemburu.
Peristiwa-peristiwa diatas merupakan sinyal bahaya dunia pendidikan dalam mewujudkan tujuan utama pendidikan yang tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar  memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. ( UU Sisdiknas:2003). Tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan peserta didik yang aktif dalam pengembangan diri, serta mempunyai kecerdasan, ketrampilan dan akhlak mulia, hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi dalam realita saat ini. Peserta didik terutama remaja tidak mampu mengembangkan diri bahkan tidak mempunyai bekal akhlak yang memadai. Hal Ini tentu sangat menyedihkan karena masa depan bangsa berada di pundak mereka.
Para tokoh yang telah banyak membahas tentang penyebab munculnya problematika serta penyimpangan yang dilakukan remaja, mulai dari ekonomi, hingga faktor agama. Namun hingga saat ini belum menunjukan hasil yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama seluruh stake houlder untuk mewujudkan peserta didik yang mempunyai kemampuan untuk mengontrol diri.
Yang sering kali mendapat sorotan dari kemerosotan moral remaja saat ini adalah  pendidikan agama, hal ini mengingat bahwa pendidikan agama memang mengarahkan peserta didik untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama yaitu tidak boleh merugikan orang lain. Oleh karena itu pendidikan agama mempunyai tugas berat untuk menanamkan keyakinan beragama pada remaja sebagai pegangan sekaligus mengarahkan tingkah laku mereka agar lebih baik, sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ahmad Haris bahwa para remaja saat ini terjangkit penyakit kemerosotan moral ( dekadensi moral ) yang disebabkan jauhnya mereka dengan ajaran-ajaran agama (Ahmad Haris: 1987). Sehingga para remaja saat ini mudah diombang-ambingkan dalam kehidupan mereka, lalu mereka pun terbiasa dengan kekerasan, maupun tindak kriminal.
Lebih lanjut Ahmad Haris mengatakan, jika dilihat dari sudut kejiwaan ( Psikologi ), permasalahan-permasalahan seperti tersebut diatas disebabkan karena tidak adanya ketentraman jiwa pada diri remaja, yang disebabkan oleh rasa kecewa, cemas, atau ketidakpuasan  mereka terhadap kehidupan, aturan, atau pun norma tertentu sehingga mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai suatu pelarian dari ketidaktentraman jiwa mereka. Dan ketentraman jiwa bisa terbentuk dari pemahaman terhadap agama.
Namun pernyataan diatas belum sepenuhnya benar, karena bagaimana pun juga tidak adil rasanya jika hanya pendidikan agama yang mendapatkan beban berat ketika terdapat hasil negatif dari proses pendidikan, sedangkan ketika terdapat peserta didik yang berprestasi misalnya dalam sains atau pun sastra, pendidikan agama tidak pernah diperhatikan, seakan agama tidak memberikan andil dalam pendidikan seni, sains dll. Maka harus ada  kerja sama dari semua pihak, dalam memberikan bekal kepada remaja. Seluruh stake houlder dalam hal ini mempunyai tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu harus dirancang sebuah pembelajaran yang terinterkoneksi antar satu pelajaran dengan pembelajaran yang lain, antara agama dan biologi, antara pengetahuan sosial dengan agama dan lain seterusnya.
Remaja adalah suatu masa dimana seorang manusia berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolesensi.”( Melly Sri Sulastri: 1984). Kata adolescence atau lebih banyak kita kenal di indonesia dengan sebutan remaja merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin (andolescere) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Pada saat ini kata itu mempunyai makna yang luas yaitu mencangkup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Dari sudut perkembangan fisik remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna.( Sarlito Wirawan Sarwono: 1989). Adanya perkembangan fisik dan psikis sering tidak berjalan seimbang, sehingga perkembangan psikis pada diri remaja sering menimbulkan kebingungan pada diri mereka, karena munculnya gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mereka mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat (Zulkifli : 2005). Oleh karena itu periode ini disebut oleh sebagian ahli psikologi sebagai periode badai dan tekanan ( strum and drang ). 
Pada saat memasuki masa remaja seseorang pun mengalami perkembangan pola berfikir atau intelegensi dari menerima secara total pengetahuan yang didapat kepada tingkatan menerima dan membanding-bandingkan atas apa yang mereka pahami.
Menurut Fowler usia remaja yaitu pada kisaran umur 12-20 tahun memasuki tahap berfikir sintetis-konvensional yang menyebabkan mereka berusaha untuk membentuk diri mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki lingkungan mereka, keyakinan yang mereka miliki akan semakin kuat dan mendalam jika mereka dijauhkan dari dorongan-dorongan kritis dalam berfikir, dan terlalu mendalam atas hal-hal yang abstrak. Disinilah peran keluarga sangat besar dalam memberikan pondasi berfikir kepada anak, sehingga pada tahap ini seorang anak akan mampu menggunakan pola berfikir yang tepat dalam mengatasi permasalahan, namun juga sebaliknya jika sang anak hidup dalam keluarga yang lemah dalam keyakinan beragama maka sang anak akan dengan mudah kehilangan pegangan dalam keyakinan mereka.( James W.Fowler: 1995 ).
Dapat dibayangkan apa yang sebenarnya dihadapi oleh para remaja, mulai dari belum stabilnya emosi dan jiwa, adanya dorongan-dorongan seksualitas hingga perubahan pola berfikir, menjadikan remaja sering terombang-ambing tanpa pegangan hidup yang kuat. Dan bahaya yang mengancam selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan para remaja untuk kepentingan-kepentingan tertentu, akibatnya remaja sering terjerumus dalam tindak kriminal yang merusak masa depan mereka, serta masa depan bangsa.

Ada beberapa hal yang bisa ditawarkan untuk mengatasi berbagai problematikan masa remaja pertama menanamkan ajaran agama bagi para remaja dalam pendidikan, yang bisa dilakukan dikeluarga, sekolah maupun masyarakat, sehingga dapat mereka gunakan sebagai pondasi dan kontrol dalam menjalani kehidupan serta bekal masa depan mereka.
Kedua orang tua harus memperbanyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah anak yang sedang memasuki masa remaja. Karena selama ini orang tua cenderung sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memperhatikan perkembangan anak mereka, akibatnya mereka sering menyesal ketika sudah terjadi sesuatu yang menimpa anak mereka. Begitu pula guru di sekolah. Para guru harus mengetahui bahwa peserta didik usia remaja sedang mengalami perkembangan pola berfikir sehingga seringkali mereka sangat kritis dalam proses pembelajaran dengan pertanyaan yang “nyeleneh”. Sebenarnya hal itu merupakan hal yang wajar, dan sebagai guru tidak perlu merasa benar sendiri, guru harus mampu mengarahkan hal tersebut dengan baik, agar remaja merasa bahwa mereka dihargai dan dimengerti.
Ketiga  mengontrol pertemanan. Ini merupakan hal penting yang harus dilakukan orang tua, mengontrol bukan berarti mengekang, yang perlu dilakukan orang tua adalah mengontrol dan mengarahkan anak mereka agar tidak terjerumus kepada pertemanan yang salah. Ingat bahwa remaja sedang mengalami ketidakstabilan emosi, jiwa serta pola berfikir, hal ini menyebabkan mereka akan mencari tempat yang bisa menerima mereka apa adanya, yang sanggup mengerti apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu banyak remaja yang lebih memilih dianggap anak durhaka kepada orang tua dari pada dianggap penghianat bagi teman-teman mereka. Hal ini yang harus diantisipasi para orang tua. Karena ketika remaja telah salah dalam memilih pertemanan maka masa depan mereka jelas berakhir dipenjara, dan orang tua hanya bisa menyesali hal itu.

EDUTAINMENT LEARNING



Menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
Mengamati berbagai pemberitaan baik dari surat kabar maupun secara online tentang pendidikan saat ini ada rasa kecewa yang muncul dalam hati saya, sebagai seorang yang bergelut dengan dunia pendidikan rasa gelisah menyeruak di hati, dan selalu muncul pertanyaan dalam benak saya : “ bagaimanakah sebenarnya proses pendidikan yang harus diterapkan di indonesia”??? karena hingga saat ini berbagai teori, kritik serta saran telah dihadirkan demi mencari solusi yang solutif bagi perbaikan dan perkembangan pendidikan yang lebih baik demi masa depan Indonesia.
Hal pertama yang harus diperhatikan untuk menganalisis suatu permasalahan adalah dengan mengamati akar masalah atau filsafat yang mendasarinya. Pendidikan di indonesia masih tergolong pendidikan klasik, dengan paradigma pemikiran Nativisme yang cenderung memberikan porsi besar kepada guru dalam proses pembelajaran atau teacher centered learn. Perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru ( teacher centered learn ) menjadi pembelajaran berpusat pada peserta didik ( student centered learn ) menuntut pembelajaran didesain secara menyenangkan, perubahan paradigma ini adalah hasil dari runtuhnya teori tabula rasa John Locke yang mengatakan bahwa peserta didik seperti kertas kosong atau seperti botol kosong yang siap di isi dengan pengetahuan oleh sang guru. Ada kepingan yang hilang dalam proses pembelajaran yang terpusat pada guru yaitu hilangnya aspek hiburan yang menyenangkan, sehingga proses pembelajaran berjalan kaku, membosankan, tak sedikit pun terlihat senyum antusias peserta didik selama proses pembelajaran. Guru masih terkurung dalam paradigma bahwa ketika dia mengajar maka otomatis peserta didik akan belajar, guru kurang memperhatikan jiwa dari peserta didik dalam ruang belajar, bagi mereka yang terpenting adalah tercapainya ketuntasan kurikulum sebagai target profesionalitas, tentu ini tidak seluruhnya benar namun fakta itu tidak dapat di pungkiri, dan sudah seharusnya dirubah.  
Angin segar tentang perkembangan pendidikan semakin terlihat dengan temuan-temuan tentang teori tentang potensi manusia. Penemuan-penemuan mutakhir tentang potensi otak manusia menyimpulkan bahwa otak manusia akan bekerja semakin aktif jika kondisi seseorang merasa nyaman, tanpa tekanan dan beban. Salah satu teori yang muncul misalnya teori Triune ( 3 in 1 ) yang membagi otak manusia menjadi 3 bagian yaitu otak batang ( reptil ), otak mamalia, serta bagian neokorteks. Masing- masing bagian ini mempunyai fungsi yang berbeda, otak reptil berfungsi untuk Mempertahankan kelangsungan hidup, Menentukan untuk menghadapi ancaman atau lari, jika informasi selama kegiatan pembelajaran hanya masuk pada bagian otak ini maka peserta didik cenderung menutup diri, tidak mau ikut aktif dalam proses, bahkan mereka sering membuat onar mengganggu teman, hal itu karena informasi yang diterima tidak diteruskan ke bagian neokorteks sebagai pusat kecerdasan, tapi hanya masuk dibagian otak batang atau reptil. lalu otak mamalia, merupan bagian otak yang Berfungsi untuk mengatur emosi atau perasaan, Mengatur bioritmik ( yaitu rasa lapar, haus ), Sistem kekebalan, bagian otak ini miskin kreatifas, berfungsi pula untuk menerima semua informasi, jika infomasi yang diterima terasa tidak nyaman maka akan dimasukkan ke dalam bagian batang atau otak reptil, sedangkan jika informasi terasa menyenangkan maka akan dialirkan kebagian neokorteks. Bagian yang terakhir adalah bagian neokorteks, merupakan bagian otak yang berfungsi sebagai pusat berfikir cerdas, otak ini mengatur segala bentuk kreatifitas berfikir manusia, jika informasi yang diterima sampai pada bagian ini maka peserta didik akan dengan mudah mengikuti pembelajaran, dan hasilnya akan semakin maksimal.
Konklusi dari teori otak Triune adalah bahwa jika seorang peserta didik merasa nyaman, dan senang dalam proses pembelajaran maka dia akan bisa dengan mudah menyerap materi pembelajaran yang diberikan. Lalu bagaimanakah cara untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga peserta didik merasa nyaman, dan prestasi mereka bisa melejit???
Salah satu cara untuk melejitkan prestasi peserta didik adalah dengan mengaplikasikan teori Quantum dalam proses pembelajaran, atau Quantum Learning. Era Quantum telah merambah kesegala sisi kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, sehingga muncul teori Quantum Learning yang menghendaki lompatan-lompatan yang dilakukan dalam pendidikan oleh peserta didik. Pada Era Quantum inilah muncul berbagai teori pembelajaran yang menyenangkan dan diharapkan mampu memberikan hasil yang maksimal. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan diantaranya yaitu :
Pertama : Menciptakan ruang pembelajaran yang nyaman, langkah ini dapat dilakukan dengan menambahkan poster-poster atau gambar-gambar yang relevan sesuai dengan tema pembelajaran, poster-poster berwarna akan membangkitkan  bakat dan minat peserta didik dalam proses pembelajaran.
Kedua : Membunyikan musik, karena musik terbukti bisa meningkatkan kosentrasi dari peserta didik, hal ini karena otak manusia terbagi menjadi dua yaitu otak kanan dan otak kiri, kedua otak ini sama-sama aktif ketika sehingga saling saling berebut, otak kiri yang berfungsi untuk berfikir logis sering diganggu otak kanan, dan musik bisa menjadikan otak kanan sibuk tanpa harus mengganggu otak kiri untuk konsentrasi.
Ketiga : Menggunakan humor, penggunaan humor ini dapat dilakukan pada saat peserta didik telah mulai kelelahan. Walau pun tidak semua pendidik mempunyai sense of humor namun pendidik bisa berlatih agar bisa mempunyai keterampilan mengajar agar peserta didik dapat belajar dengan suasana menyenangkan, sehingga mereka akan semakin menikmati proses pembelajaran, dan dapat mencapai target yang diinginkan.
Setidaknya dengan ketiga cara tersebut diatas dapat menemukan lalu membangkitkan potensi setiap peserta didik dalam proses pembelajaran, mereka pun akan semakin nyaman dan senang dalam proses pembelajaran sehingga akan tercipta pembelajaran yang penuh arti ( meaningful learning), karena setiap anak istimewa dengan potensi dalam diri mereka.