PROBLEMATIKA REMAJA
Masa muda masa yang berapi-api
Yang mau nya menang sendiri
Walau salah tak peduli..
Wo ho ho..... masa muda....
Penggalan syair
lagu diatas memberikan gambaran remaja, dengan jiwa yang penuh gejolak untuk
melakukan apapun tanpa berfikir panjang. Kita bisa lihat aksi kekerasan seperti
tawuran, tindak kriminal serta kemerosotan moral yang dilakukan remaja banyak
memenuhi pemberitaan di media massa saat ini, baik cetak maupun elektronik. Bahkan selama tahun 2013 ini, kekerasan dan tindak
kriminal para remaja terus meningkat dan semakin brutal, tercatat mulai tanggal
21 Februari siswa SMA tawuran di Jakarta Pusat, di susul pada 18 April setelah
UN pelajar SMA saling tawuran lalu membajak bus di Grogol di Jakarta Barat, lalu
di Jakarta Utara para pelajar berkonvoi dengan membawa senjata tajam, lalu pada
tanggal 29 Juli dan 30 Juli terjadi pelecehan dan tawuran di Jakarta Selatan,
tanggal 8 September seorang remaja hilang kendali ketika mengendarai mobil
hingga menewaskan 6 orang, pada tanggal 27 September dunia pendidikan kembali
dihebohkan dengan rekaman tindakan asusila dua murid SMP diruang kelas, dan
yang terakhir pada 4 Oktober seorang remaja menyiramkan air keras kepada
penumpang dan awak bus jurusan kampung Melayu-Grogol yang menyebabkan 18 orang
mengalami luka bakar (Kompas: 23 Desember 2013). Yang terbaru ada kasus pengeroyokan hingga mengakibatkan
kematian seorang remaja putri, yang dilatarbelakangi rasa cemburu.
Peristiwa-peristiwa diatas merupakan sinyal bahaya dunia pendidikan dalam mewujudkan tujuan utama pendidikan yang
tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. ( UU Sisdiknas:2003). Tujuan
utama pendidikan adalah menyiapkan peserta didik yang aktif dalam pengembangan
diri, serta mempunyai kecerdasan, ketrampilan dan akhlak mulia, hal ini sangat
kontras dengan apa yang terjadi dalam realita saat ini. Peserta didik terutama
remaja tidak mampu mengembangkan diri bahkan tidak mempunyai bekal akhlak yang
memadai. Hal Ini tentu sangat menyedihkan karena masa depan bangsa berada di
pundak mereka.
Para tokoh yang telah banyak membahas tentang penyebab
munculnya problematika serta penyimpangan yang dilakukan remaja, mulai dari
ekonomi, hingga faktor agama. Namun hingga saat ini belum menunjukan hasil yang
signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama seluruh stake houlder
untuk mewujudkan peserta didik yang mempunyai kemampuan untuk mengontrol diri.
Yang sering kali mendapat sorotan dari kemerosotan moral
remaja saat ini adalah pendidikan agama, hal ini mengingat bahwa pendidikan agama memang
mengarahkan peserta didik untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama
yaitu tidak boleh merugikan orang lain. Oleh karena itu pendidikan agama
mempunyai tugas berat
untuk menanamkan keyakinan beragama pada remaja sebagai pegangan sekaligus mengarahkan tingkah
laku mereka agar lebih baik, sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ahmad Haris bahwa para remaja saat ini terjangkit penyakit kemerosotan moral ( dekadensi moral ) yang disebabkan
jauhnya mereka dengan ajaran-ajaran agama (Ahmad Haris: 1987). Sehingga para remaja saat ini mudah diombang-ambingkan
dalam kehidupan mereka, lalu mereka pun terbiasa dengan kekerasan, maupun
tindak kriminal.
Lebih lanjut Ahmad Haris mengatakan, jika dilihat dari sudut kejiwaan ( Psikologi ), permasalahan-permasalahan seperti tersebut diatas disebabkan
karena tidak adanya ketentraman jiwa pada diri remaja, yang disebabkan oleh
rasa kecewa, cemas, atau ketidakpuasan
mereka terhadap kehidupan, aturan, atau pun norma tertentu sehingga
mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai suatu pelarian dari
ketidaktentraman jiwa mereka.
Dan ketentraman jiwa bisa terbentuk dari pemahaman terhadap agama.
Namun pernyataan diatas belum sepenuhnya
benar, karena bagaimana pun juga tidak adil rasanya jika hanya pendidikan agama
yang mendapatkan beban berat ketika terdapat hasil negatif dari proses
pendidikan, sedangkan ketika terdapat peserta didik yang berprestasi misalnya
dalam sains atau pun sastra, pendidikan agama tidak pernah diperhatikan, seakan
agama tidak memberikan andil dalam pendidikan seni, sains dll. Maka harus ada kerja sama dari semua pihak, dalam memberikan
bekal kepada remaja. Seluruh stake houlder dalam hal ini mempunyai
tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu harus dirancang sebuah pembelajaran
yang terinterkoneksi antar satu pelajaran dengan pembelajaran yang lain, antara
agama dan biologi, antara pengetahuan sosial dengan agama dan lain seterusnya.
Remaja adalah suatu masa dimana seorang manusia berada pada masa perkembangan yang disebut
masa “adolesensi.”( Melly Sri Sulastri: 1984). Kata adolescence atau
lebih banyak kita kenal di indonesia dengan sebutan remaja merupakan istilah
yang berasal dari bahasa latin (andolescere) yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Pada saat ini kata itu mempunyai makna yang luas yaitu
mencangkup kematangan mental, emosional,
sosial dan fisik. Dari sudut perkembangan fisik remaja dikenal sebagai suatu
tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh
pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna.( Sarlito Wirawan Sarwono: 1989). Adanya perkembangan fisik dan psikis sering tidak
berjalan seimbang, sehingga perkembangan psikis pada diri remaja sering
menimbulkan kebingungan pada diri mereka, karena munculnya gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mereka mudah
menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan
masyarakat (Zulkifli: 2005). Oleh karena itu periode ini
disebut oleh sebagian ahli psikologi sebagai periode badai dan tekanan (
strum and drang ).
Pada saat memasuki masa remaja seseorang pun
mengalami perkembangan pola berfikir atau intelegensi dari menerima secara
total pengetahuan yang didapat kepada tingkatan menerima dan
membanding-bandingkan atas apa yang mereka pahami.
Menurut Fowler usia remaja yaitu pada kisaran umur 12-20
tahun memasuki tahap berfikir sintetis-konvensional yang menyebabkan mereka
berusaha untuk membentuk diri mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki
lingkungan mereka, keyakinan yang mereka miliki akan semakin kuat dan mendalam
jika mereka dijauhkan dari dorongan-dorongan kritis dalam berfikir, dan terlalu
mendalam atas hal-hal yang abstrak. Disinilah peran keluarga sangat besar dalam
memberikan pondasi berfikir kepada anak, sehingga pada tahap ini seorang anak
akan mampu menggunakan pola berfikir yang tepat dalam mengatasi permasalahan,
namun juga sebaliknya jika sang anak hidup dalam keluarga yang lemah dalam
keyakinan beragama maka sang anak akan dengan mudah kehilangan pegangan dalam
keyakinan mereka.( James
W.Fowler: 1995 ).
Dapat dibayangkan apa yang sebenarnya
dihadapi oleh para remaja, mulai dari belum stabilnya emosi dan jiwa, adanya
dorongan-dorongan seksualitas hingga perubahan pola berfikir, menjadikan remaja
sering terombang-ambing tanpa pegangan hidup yang kuat. Dan bahaya yang
mengancam selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan para remaja
untuk kepentingan-kepentingan tertentu, akibatnya remaja sering terjerumus
dalam tindak kriminal yang merusak masa depan mereka, serta masa depan bangsa.
Ada beberapa hal yang bisa ditawarkan untuk
mengatasi berbagai problematikan masa remaja pertama menanamkan ajaran agama bagi para
remaja dalam pendidikan, yang bisa dilakukan dikeluarga, sekolah maupun
masyarakat, sehingga dapat mereka gunakan sebagai pondasi dan kontrol dalam menjalani kehidupan serta bekal masa
depan mereka.
Kedua orang tua harus memperbanyak waktu untuk mendengarkan
keluh kesah anak yang sedang memasuki masa remaja. Karena selama ini orang tua
cenderung sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memperhatikan perkembangan
anak mereka, akibatnya mereka sering menyesal ketika sudah terjadi sesuatu yang
menimpa anak mereka. Begitu pula guru di sekolah. Para guru harus mengetahui
bahwa peserta didik usia remaja sedang mengalami perkembangan pola berfikir
sehingga seringkali mereka sangat kritis dalam proses pembelajaran dengan
pertanyaan yang “nyeleneh”. Sebenarnya hal itu merupakan hal yang wajar,
dan sebagai guru tidak perlu merasa benar sendiri, guru harus mampu mengarahkan
hal tersebut dengan baik, agar remaja merasa bahwa mereka dihargai dan
dimengerti.
Ketiga mengontrol
pertemanan. Ini merupakan hal penting yang harus dilakukan orang tua,
mengontrol bukan berarti mengekang, yang perlu dilakukan orang tua adalah
mengontrol dan mengarahkan anak mereka agar tidak terjerumus kepada pertemanan
yang salah. Ingat bahwa remaja sedang mengalami ketidakstabilan emosi, jiwa
serta pola berfikir, hal ini menyebabkan mereka akan mencari tempat yang bisa
menerima mereka apa adanya, yang sanggup mengerti apa yang mereka inginkan.
Oleh karena itu banyak remaja yang lebih memilih dianggap anak durhaka kepada
orang tua dari pada dianggap penghianat bagi teman-teman mereka. Hal ini yang
harus diantisipasi para orang tua. Karena ketika remaja telah salah dalam
memilih pertemanan maka masa depan mereka jelas berakhir dipenjara, dan orang
tua hanya bisa menyesali hal itu.