REVITALISASI
PENDIDIKAN AKHLAK PADA REMAJA
Makin
merebaknya tindak kriminal remaja atau yang lebih dikenal dengan istilah khilthih
menjadi salah satu indikasi ada missing link dalam proses pendidikan
saat ini. Diterangkan dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang SisdikNas bahwa : Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam UU
tersebut jelas bahwa proses pendidikan di Indonesia tidak hanya menekankan
aspek kognitif (kecerdasan) namun juga aspek afektif (pengendalian
diri, kepribadian serta akhlak mulia) dan kemampuan psikomotorik (keterampilan).
Aspek afektif disebut 3 kali (pengendalian diri, kepribadian serta akhlak
mulia), merupakan indikasi bahwa pemerintah sadar aspek afektif memang
sangat penting untuk diwujudkan dalam pendidikan. Bahkan Nabi Muhammad SAW di
utus ke dunia ini tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia. (inamal
buisttu li utamimal makarimal akhlak). Oleh karena itulah sebagian ulama’
mengatakan bahwa mereka lebih membutuhkan adab jika dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan secara umum (nahnu ila qoliili minal adab ahwaju minaa
ila katsiri minal ilmi).
Remaja
Dalam ilmu
psikologi remaja adalah fase dimana seseorang mengalami perkembangan fisik yang
mendekati sempurna, semua organ dan hormon telah berkembang layaknya orang dewasa.
Dengan kondisi fisik seperti ini mereka merasa sudah seperti orang dewasa.
Mereka ingin dihargai, mereka merasa mampu melakukan apa yang orang dewasa
lakukan. Namun karena kondisi psikis/jiwa mereka yang masih labil mereka
sering ceroboh dalam melakukan sesuatu, sehingga sering terburu-buru dalam
mengambil sebuah tindakan. Selain ingin dihargai remaja juga mendambakan
kondisi yang ideal dan sempurna. Maka jika keberadaan mereka tidak dihargai
atau ada kontradiksi antara idealisme yang mereka harapkan dengan realita yang
terjadi mereka pun akan melakukan segala cara untuk merubah hal tersebut agar sesuai
angan-angan mereka. Mereka mulai mencari dan bergabung dengan kelompok yang
bisa menghargai mereka dan dapat mereka ajak untuk mewujudkan idealisme
bersama. Jika pengarahan dan pengawasan keluarga, sekolah dan masyarakat lemah mereka
pun akan melakukan penyimpangan, melanggar norma, moral bahkan hukum, seperti
prostitusi dan tindak kriminal lain seperti kekerasan hingga pembunuhan. Dalam
sejarah bangsa remaja di Indonesia adalah aktor penting terwujudnya kemerdekaan
bangsa, mereka berkontribusi nyata terhadap persatuan dan kesatuan bangsa ini,
misalnya peristiwa sumpah pemuda, peristiwa Rengas Dengklok dan masih banyak
yang lain. Namun seiring perkembangannya para remaja seolah terbawa derasnya
arus teknologi dan gaya hidup modern yang cenderung dehumanis, hedonis, materialistis
dan anti sosial.
Tri Pusat
Pendidikan
Imam al-Ghozali
mengatakan bahwa akhlak adalah : keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tanpa membutuhkan pemikiran, atau secara spontan. Akhlak
terbentuk dari pembiasan yang diulang terus menerus dalam kehidupan
sehari-hari, hingga seseorang melakukan sesuatu secara reflek. Maka orang
berakhlak baik dapat dilihat dari kesehariannya, begitu pula sebaliknya. Ki
Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan
yang diperlukan untuk mengangkat martabat bangsa. Untuk mewujudkannya lebih
lanjut Ki Hadjar menerangkan pentingnya kerjasama dari tri pusat pendidikan yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga pilar ini harus memberikan bimbingan,
pengarahan serta pengawasan terhadap perkembangan setiap anak hingga mereka
dewasa. Keluarga sebagai tempat pertama bagi anak dalam membangun karakter harus
memberikan kasih sayang, perhatian serta membangun komunikasi yang aktif-dialogis
antar anggota keluarga, dan memilihkan sekolah yang cocok, lalu sekolah melanjutkannya
dengan memberikan pengarahan, bimbingan, penambahan pengetahuan sekaligus
mempraktekkannya dalam skala mikro melalui pembelajaran di ruang dan lingkungan
sekolah. Dan masyarakat harus menjadi tempat yang positif bagi anak untuk
mengimplementasikan pengetahuan mereka dalam skala makro, misalnya dengan
mengaktifkan kembali kegiatan remaja masjid, atau karang taruna sehingga remaja
bisa mengimplementasikan energi, pengetahuan dan idealisme yang mereka miliki
dalam ruang yang positif, sehingga terbentuklah akhlak mulia pada diri mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar