Sabtu, 21 Januari 2017

REMAJA DAN PROBLEMATIKANYA



PROBLEMATIKA REMAJA
Masa muda masa yang berapi-api
Yang mau nya menang sendiri
Walau salah tak peduli..
Wo ho ho..... masa muda....
Penggalan syair lagu diatas memberikan gambaran remaja, dengan jiwa yang penuh gejolak untuk melakukan apapun tanpa berfikir panjang. Kita bisa lihat aksi kekerasan seperti tawuran, tindak kriminal serta kemerosotan moral yang dilakukan remaja banyak memenuhi pemberitaan di media massa saat ini, baik cetak maupun elektronik. Bahkan selama tahun 2013 ini, kekerasan dan tindak kriminal para remaja terus meningkat dan semakin brutal, tercatat mulai tanggal 21 Februari siswa SMA tawuran di Jakarta Pusat, di susul pada 18 April setelah UN pelajar SMA saling tawuran lalu membajak bus di Grogol di Jakarta Barat, lalu di Jakarta Utara para pelajar berkonvoi dengan membawa senjata tajam, lalu pada tanggal 29 Juli dan 30 Juli terjadi pelecehan dan tawuran di Jakarta Selatan, tanggal 8 September seorang remaja hilang kendali ketika mengendarai mobil hingga menewaskan 6 orang, pada tanggal 27 September dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan rekaman tindakan asusila dua murid SMP diruang kelas, dan yang terakhir pada 4 Oktober seorang remaja menyiramkan air keras kepada penumpang dan awak bus jurusan kampung Melayu-Grogol yang menyebabkan 18 orang mengalami luka bakar (Kompas : 23 Desember 2013). Yang terbaru ada kasus pengeroyokan hingga mengakibatkan kematian seorang remaja putri, yang dilatarbelakangi rasa cemburu.
Peristiwa-peristiwa diatas merupakan sinyal bahaya dunia pendidikan dalam mewujudkan tujuan utama pendidikan yang tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar  memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. ( UU Sisdiknas:2003). Tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan peserta didik yang aktif dalam pengembangan diri, serta mempunyai kecerdasan, ketrampilan dan akhlak mulia, hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi dalam realita saat ini. Peserta didik terutama remaja tidak mampu mengembangkan diri bahkan tidak mempunyai bekal akhlak yang memadai. Hal Ini tentu sangat menyedihkan karena masa depan bangsa berada di pundak mereka.
Para tokoh yang telah banyak membahas tentang penyebab munculnya problematika serta penyimpangan yang dilakukan remaja, mulai dari ekonomi, hingga faktor agama. Namun hingga saat ini belum menunjukan hasil yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan kerja sama seluruh stake houlder untuk mewujudkan peserta didik yang mempunyai kemampuan untuk mengontrol diri.
Yang sering kali mendapat sorotan dari kemerosotan moral remaja saat ini adalah  pendidikan agama, hal ini mengingat bahwa pendidikan agama memang mengarahkan peserta didik untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama yaitu tidak boleh merugikan orang lain. Oleh karena itu pendidikan agama mempunyai tugas berat untuk menanamkan keyakinan beragama pada remaja sebagai pegangan sekaligus mengarahkan tingkah laku mereka agar lebih baik, sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ahmad Haris bahwa para remaja saat ini terjangkit penyakit kemerosotan moral ( dekadensi moral ) yang disebabkan jauhnya mereka dengan ajaran-ajaran agama (Ahmad Haris: 1987). Sehingga para remaja saat ini mudah diombang-ambingkan dalam kehidupan mereka, lalu mereka pun terbiasa dengan kekerasan, maupun tindak kriminal.
Lebih lanjut Ahmad Haris mengatakan, jika dilihat dari sudut kejiwaan ( Psikologi ), permasalahan-permasalahan seperti tersebut diatas disebabkan karena tidak adanya ketentraman jiwa pada diri remaja, yang disebabkan oleh rasa kecewa, cemas, atau ketidakpuasan  mereka terhadap kehidupan, aturan, atau pun norma tertentu sehingga mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan sebagai suatu pelarian dari ketidaktentraman jiwa mereka. Dan ketentraman jiwa bisa terbentuk dari pemahaman terhadap agama.
Namun pernyataan diatas belum sepenuhnya benar, karena bagaimana pun juga tidak adil rasanya jika hanya pendidikan agama yang mendapatkan beban berat ketika terdapat hasil negatif dari proses pendidikan, sedangkan ketika terdapat peserta didik yang berprestasi misalnya dalam sains atau pun sastra, pendidikan agama tidak pernah diperhatikan, seakan agama tidak memberikan andil dalam pendidikan seni, sains dll. Maka harus ada  kerja sama dari semua pihak, dalam memberikan bekal kepada remaja. Seluruh stake houlder dalam hal ini mempunyai tanggung jawab yang sama. Oleh karena itu harus dirancang sebuah pembelajaran yang terinterkoneksi antar satu pelajaran dengan pembelajaran yang lain, antara agama dan biologi, antara pengetahuan sosial dengan agama dan lain seterusnya.
Remaja adalah suatu masa dimana seorang manusia berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolesensi.”( Melly Sri Sulastri: 1984). Kata adolescence atau lebih banyak kita kenal di indonesia dengan sebutan remaja merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin (andolescere) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Pada saat ini kata itu mempunyai makna yang luas yaitu mencangkup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Dari sudut perkembangan fisik remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna.( Sarlito Wirawan Sarwono: 1989). Adanya perkembangan fisik dan psikis sering tidak berjalan seimbang, sehingga perkembangan psikis pada diri remaja sering menimbulkan kebingungan pada diri mereka, karena munculnya gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mereka mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat (Zulkifli : 2005). Oleh karena itu periode ini disebut oleh sebagian ahli psikologi sebagai periode badai dan tekanan ( strum and drang ). 
Pada saat memasuki masa remaja seseorang pun mengalami perkembangan pola berfikir atau intelegensi dari menerima secara total pengetahuan yang didapat kepada tingkatan menerima dan membanding-bandingkan atas apa yang mereka pahami.
Menurut Fowler usia remaja yaitu pada kisaran umur 12-20 tahun memasuki tahap berfikir sintetis-konvensional yang menyebabkan mereka berusaha untuk membentuk diri mereka sesuai dengan apa yang dikehendaki lingkungan mereka, keyakinan yang mereka miliki akan semakin kuat dan mendalam jika mereka dijauhkan dari dorongan-dorongan kritis dalam berfikir, dan terlalu mendalam atas hal-hal yang abstrak. Disinilah peran keluarga sangat besar dalam memberikan pondasi berfikir kepada anak, sehingga pada tahap ini seorang anak akan mampu menggunakan pola berfikir yang tepat dalam mengatasi permasalahan, namun juga sebaliknya jika sang anak hidup dalam keluarga yang lemah dalam keyakinan beragama maka sang anak akan dengan mudah kehilangan pegangan dalam keyakinan mereka.( James W.Fowler: 1995 ).
Dapat dibayangkan apa yang sebenarnya dihadapi oleh para remaja, mulai dari belum stabilnya emosi dan jiwa, adanya dorongan-dorongan seksualitas hingga perubahan pola berfikir, menjadikan remaja sering terombang-ambing tanpa pegangan hidup yang kuat. Dan bahaya yang mengancam selanjutnya adalah adanya pihak-pihak yang memanfaatkan para remaja untuk kepentingan-kepentingan tertentu, akibatnya remaja sering terjerumus dalam tindak kriminal yang merusak masa depan mereka, serta masa depan bangsa.

Ada beberapa hal yang bisa ditawarkan untuk mengatasi berbagai problematikan masa remaja pertama menanamkan ajaran agama bagi para remaja dalam pendidikan, yang bisa dilakukan dikeluarga, sekolah maupun masyarakat, sehingga dapat mereka gunakan sebagai pondasi dan kontrol dalam menjalani kehidupan serta bekal masa depan mereka.
Kedua orang tua harus memperbanyak waktu untuk mendengarkan keluh kesah anak yang sedang memasuki masa remaja. Karena selama ini orang tua cenderung sibuk dengan pekerjaan sehingga kurang memperhatikan perkembangan anak mereka, akibatnya mereka sering menyesal ketika sudah terjadi sesuatu yang menimpa anak mereka. Begitu pula guru di sekolah. Para guru harus mengetahui bahwa peserta didik usia remaja sedang mengalami perkembangan pola berfikir sehingga seringkali mereka sangat kritis dalam proses pembelajaran dengan pertanyaan yang “nyeleneh”. Sebenarnya hal itu merupakan hal yang wajar, dan sebagai guru tidak perlu merasa benar sendiri, guru harus mampu mengarahkan hal tersebut dengan baik, agar remaja merasa bahwa mereka dihargai dan dimengerti.
Ketiga  mengontrol pertemanan. Ini merupakan hal penting yang harus dilakukan orang tua, mengontrol bukan berarti mengekang, yang perlu dilakukan orang tua adalah mengontrol dan mengarahkan anak mereka agar tidak terjerumus kepada pertemanan yang salah. Ingat bahwa remaja sedang mengalami ketidakstabilan emosi, jiwa serta pola berfikir, hal ini menyebabkan mereka akan mencari tempat yang bisa menerima mereka apa adanya, yang sanggup mengerti apa yang mereka inginkan. Oleh karena itu banyak remaja yang lebih memilih dianggap anak durhaka kepada orang tua dari pada dianggap penghianat bagi teman-teman mereka. Hal ini yang harus diantisipasi para orang tua. Karena ketika remaja telah salah dalam memilih pertemanan maka masa depan mereka jelas berakhir dipenjara, dan orang tua hanya bisa menyesali hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar