Jumat, 20 Januari 2017

PENDIDIKAN YANG NGE-WONG-KE



PEMBELAJARAN YANG NGE-WONG-KE
Perubahan kata pengajaran menjadi pembelajaran merupakan akibat dari perubahan paradigma pendidikan di Indonesia dari teacher centered menjadi student centered. Akibatnya posisi peserta didik yang tidak hanya sebagai objek namun juga sebagai subjek yang aktif dan kreatif dalam proses pendidikan.
Dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang SisdikNas diterangkan bahwa Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sedangkan Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dasar pembelajaran adalah adanya interaksi aktif antara peserta didik dan pendidik. Peserta didik mempunyai ruang untuk mengeluarkan ide-ide serta pendapatnya. Seperti yang dikatakan oleh Poulo Freire bahwa pendidikan adalah proses menghasilkan ide-ide baru, bukan mengkonsumsi ide-ide yang telah ada. Sedangkan pendidik bertugas untuk mengarahkan serta memberikan tambahan-tambahan yang diperlukan, mengingat secara emosi peserta didik masih terbilang labil.
Banyak ahli yang menyakini bahwa tindakan-tindakan menyimpang dari peserta didik adalah karena mereka kurang mendapatkan ruang untuk berekspresi. Mereka kurang di-wong-ke sehingga melampiaskan kepada tindakan-tindakan yang cenderung negatif bahkan tidak sedikit yang berujung pada tindak kriminal. Tentu hal ini tidak kita inginkan. Karena jika keadaan ini terus berlanjut maka dengan kata lain sekolah/madrasah telah menjadi tempat-tempat menyeramkan yang menghasilkan martir-martir seperti bom waktu dan siap meledak kapan saja dan dimana saja.
Komunikasi Positif-Dialogis
Langkah pertama dalam proses nge-wong-ke peserta didik adalah dengan membuka komunikasi positif. Komunikasi positif adalah komunikasi yang sarat dengan motivasi dan bersifat membangun baik verbal maupun non verbal seperti gestur dan lainnya. Dengan komunikasi positif maka pendidik akan mampu memberikan energi positif kepada peserta didik, misalnya dengan mengganti kata “tidak bisa” dengan “belum bisa” atau “tidak tahu” dengan “belum tahu” dll. Atau pun dengan gestur misalnya memberikan acungan jempol dan tepuk tangan ketika peserta didik berhasil mengerjakan tugas yang diberikan. Dan ketika komunikasi sudah terbangun positif maka tugas pendidik disetiap akhir proses pembelajaran adalah memberikan pengarahan, penguatan atau pun penghargaan.
Langkah selanjutnya adalah komunikasi yang dialogis, yaitu komunikasi yang berjalan dua arah antara pendidik dan peserta didik. Pendidik adalah sosok yang terbuka dan pengayom bagi peserta didik, hal ini memang yang dikehendaki dari K-13 dengan pendekatan saintifiknya. Dengan komunikasi positif dan dialogis maka akan tercipta kondisi lingkungan yang saling menghargai yang berazas pada egaliter.
Membuat Catatan
Selain dalam ruang pembelajaran pemantauan dan pengarahan juga perlu dilakukan di luar ruangan. Mengingat peserta didik yang masih mementingkan ego seringkali muncul masalah antar peserta didik di luar kelas. Yang tak jarang pula berujung pada tindakan-tindakan negatif, seperti bullying atau tindak kekerasan. Untuk itulah seorang pendidik diharapkan memberikan pengarahan dan pemantauan kepada peserta didik selama berada di lingkungan sekolah.
K-13 menghendaki evaluasi berbeda dari pendidik. Selama ini evaluasi yang dilakukan adalah melalui pemberian latihan dan ujian, tidak begitu dengan K-13 yang menghendaki pendidik aktif dalam mengamati dan mencatat secara real time seluruh aktifitas peserta didik selama berada di lingkungan sekolah. Catatan tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai laporan individu peserta didik kepada orang tua/wali. 
Dampak positif dari kegiatan pengamatan antara lain dapat menumbuhkan jiwa peneliti pada diri pendidik. Mereka akan aktif melakukan pengamatan terhadap peserta didik, sehingga mampu mengetahui potensi yang dimiliki setiap peserta didik. karena setiap peserta didik mempunyai potensi berbeda, masalah berbeda sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda pula. pada tahap ini seorang guru layaknya seorang dokter yang memiliki pasien dengan keluhan berbeda-beda dan tentunya obat serta dosisnya pun berbeda. Dengan ikhtiyar tersebut semoga terwujud suatu pembelajaran yang nge-wong-ke setiap peserta didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar