PEMBELAJARAN
YANG NGE-WONG-KE
Perubahan kata
pengajaran menjadi pembelajaran merupakan akibat dari perubahan paradigma
pendidikan di Indonesia dari teacher centered menjadi student
centered. Akibatnya posisi peserta didik yang tidak hanya sebagai objek
namun juga sebagai subjek yang aktif dan kreatif dalam proses pendidikan.
Dalam UU nomor
20 tahun 2003 tentang SisdikNas diterangkan bahwa Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Sedangkan Peserta didik adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Dasar
pembelajaran adalah adanya interaksi aktif antara peserta didik dan pendidik.
Peserta didik mempunyai ruang untuk mengeluarkan ide-ide serta pendapatnya.
Seperti yang dikatakan oleh Poulo Freire bahwa pendidikan adalah proses
menghasilkan ide-ide baru, bukan mengkonsumsi ide-ide yang telah ada. Sedangkan
pendidik bertugas untuk mengarahkan serta memberikan tambahan-tambahan yang
diperlukan, mengingat secara emosi peserta didik masih terbilang labil.
Banyak ahli
yang menyakini bahwa tindakan-tindakan menyimpang dari peserta didik adalah
karena mereka kurang mendapatkan ruang untuk berekspresi. Mereka kurang di-wong-ke
sehingga melampiaskan kepada tindakan-tindakan yang cenderung negatif bahkan
tidak sedikit yang berujung pada tindak kriminal. Tentu hal ini tidak kita
inginkan. Karena jika keadaan ini terus berlanjut maka dengan kata lain sekolah/madrasah
telah menjadi tempat-tempat menyeramkan yang menghasilkan martir-martir seperti
bom waktu dan siap meledak kapan saja dan dimana saja.
Komunikasi
Positif-Dialogis
Langkah pertama
dalam proses nge-wong-ke peserta didik adalah dengan membuka komunikasi
positif. Komunikasi positif adalah komunikasi yang sarat dengan motivasi dan
bersifat membangun baik verbal maupun non verbal seperti gestur dan lainnya. Dengan
komunikasi positif maka pendidik akan mampu memberikan energi positif kepada peserta
didik, misalnya dengan mengganti kata “tidak bisa” dengan “belum bisa” atau “tidak
tahu” dengan “belum tahu” dll. Atau pun dengan gestur misalnya memberikan
acungan jempol dan tepuk tangan ketika peserta didik berhasil mengerjakan tugas
yang diberikan. Dan ketika komunikasi sudah terbangun positif maka tugas
pendidik disetiap akhir proses pembelajaran adalah memberikan pengarahan,
penguatan atau pun penghargaan.
Langkah
selanjutnya adalah komunikasi yang dialogis, yaitu komunikasi yang berjalan dua
arah antara pendidik dan peserta didik. Pendidik adalah sosok yang terbuka dan
pengayom bagi peserta didik, hal ini memang yang dikehendaki dari K-13 dengan
pendekatan saintifiknya. Dengan komunikasi positif dan dialogis maka akan
tercipta kondisi lingkungan yang saling menghargai yang berazas pada egaliter.
Membuat
Catatan
Selain dalam
ruang pembelajaran pemantauan dan pengarahan juga perlu dilakukan di luar
ruangan. Mengingat peserta didik yang masih mementingkan ego seringkali muncul
masalah antar peserta didik di luar kelas. Yang tak jarang pula berujung pada
tindakan-tindakan negatif, seperti bullying atau tindak kekerasan. Untuk
itulah seorang pendidik diharapkan memberikan pengarahan dan pemantauan kepada
peserta didik selama berada di lingkungan sekolah.
K-13 menghendaki
evaluasi berbeda dari pendidik. Selama ini evaluasi yang dilakukan adalah melalui
pemberian latihan dan ujian, tidak begitu dengan K-13 yang menghendaki pendidik
aktif dalam mengamati dan mencatat secara real time seluruh aktifitas peserta
didik selama berada di lingkungan sekolah. Catatan tersebut selanjutnya dapat digunakan
sebagai laporan individu peserta didik kepada orang tua/wali.
Dampak positif
dari kegiatan pengamatan antara lain dapat menumbuhkan jiwa peneliti pada diri
pendidik. Mereka akan aktif melakukan pengamatan terhadap peserta didik, sehingga
mampu mengetahui potensi yang dimiliki setiap peserta didik. karena setiap
peserta didik mempunyai potensi berbeda, masalah berbeda sehingga membutuhkan
penanganan yang berbeda pula. pada tahap ini seorang guru layaknya seorang
dokter yang memiliki pasien dengan keluhan berbeda-beda dan tentunya obat serta
dosisnya pun berbeda. Dengan ikhtiyar tersebut semoga terwujud suatu
pembelajaran yang nge-wong-ke setiap peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar